Dongkrak Penjualan dengan Riset Pasar

[IMG:img-20150610-140400-edit.jpeg]

Berlangsung di Bali, pada 10 – 11 Juni 2015, workshop School of Media Marketing (SoMM) batch #14 kembali digelar Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, di sela-sela forum Jambore Media dan PR Indonesia (JAMMPIRO), yang dibesut bersama dengan majalah PR Indonesia.  Menghadirkan Direktur Roy Morgan Ningsih Sumitro, Direktur Komersial Femina Baslir Djamal, dan Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas sebagai narasumber, SoMM kali ini mengambil topik “Strategi Optimalisasi Revenue Media Melalui Riset Pasar”.

Menurut Ningsih Sumitro, secara umum kini media memang tengah mengalami tekanan penurunan revenue. Bukan hanya media cetak, televisi pun mengalami hal yang sama. Di tengah penurunan revenue tersebut, para pengelola media perlu memandang riset sebagai bagian penting untuk mengevaluasi sekaligus merancang strategi bisnis yang tepat.

Merek Tampil Muda

Perempuan yang telah makan asam garam dunia riset, marketing, hingga sales selama 19 tahun di perusahaan consumer goods Unilever ini, mengungkapkan ibarat kulit manusia, brand membutuhkan injeksi atau di-rejuvenate agar tetap steady atau growth. Inilah mengapa produk yang sudah dikenal beratus tahun pun terus berganti kemasan setiap tahun, agar selalu baru dan tidak dianggap tua. Tapi harus diingat positioning-nya tidak boleh berbeda.

“Ini juga terjadi untuk brand media seperti koran. Koran jangan sampai dianggap produk untuk orang tua saja. Tapi juga bagi anak muda. Bagaimana kita meng-encourage pembaca-pembaca muda. Belajarlah dari Lego, Blue Band, yang bisa bertahan dari generasi ke generasi,” kata mantan Country Director Levis itu.

Untuk menjaga brand agar selalu relevan dan muda, riset dan pengembangan merupakan sebuah pekerjaan yang tak boleh putus. Masalahnya, tidak semua hal bisa dengan mudah dikendalikan. Situasi ekonomi, perubahan geologi, perubahan tingkahlaku konsumen contohnya. Tapi, hal itu dapat diantisipasi dengan pintar-pintar membaca perubahan. “Riset dibutuhkan agar keputusan yang dibuat tidak salah. Riset sangat diperlukan untuk menaikkan pendapatan (revenue),” tegasnya.

Senada dengan Ningsih, Baslir Djamal  pun memandang riset sebagai hal krusial bagi media. Namun, ibarat lampu sorot, riset tidak bisa diandalkan untuk menyelesaikan segalanya. Riset harus didisain agar fokus ibarat lampu senter, menyorot objek tertentu. “Objective-nya apa, apanya yang mau diukur, setelah datanya didapat mau apa dengan data itu? Ini harus jelas dulu,” katanya.


Riset Internal

Selama ini, selain mengandalkan lembaga riset yang telah dikenal seperti Nielsen maupun Roy Morgan, media juga membangun riset internal yang kuat. Di Femina, misalnya, risetnya dipimpin oleh mantan Kepala Divisi Riset Unilever yang memang dikenal sangat ekspert dalam bidang ini. Karena itu, Femina lebih banyak menggunakan riset internal untuk meyakinkan kliennya.

Baslir mengingatkan, sebenarnya secara internal, riset yang dilakukan oleh media dapat membawa berbagai keuntungan tambahan bagi perusahaan. Karena kebutuhan klien yang beriklan di media tentu berbeda-beda. Ada yang ingin meningkatkan awareness, di sisi yang lain ada yang ingin meningkatkan penjualan. Tapi ada juga yang datang dengan konsep yang sebenarnya tidak relevan untuk pasar.

“Disitulah kita melihat peluang sebagai marketing consultant dan bisa dapat uang lebih, sebab sekarang eranya sudah berubah tidak bisa mengandalkan proposal iklan. Di Indonesia sekarang tidak ada pengukuran yang tepat, semua serba tanggung tidak ada yang bisa dipegang. Yang bisa dipegang adalah mengikuti cara mereka (klien) berpikir dan memberikan data yang mereka inginkan,” lanjut Baslir memberi tips.

Menanggapi pertanyaan dari salah satu peserta tentang riset internal yang kurang dipercaya klien karena seolah isinya selalu yang baik, Baslir menyarankan agar ketika datang ke klien, jangan datang sebagai orang periset. Tapi datanglah sebagai orang media yang  mewakili pembaca. Dan menunjukkan bahwa pembaca medianya adalah pasar brand klien yang sangat potensial.

Sementara itu, Rohan Hafas yang mendaptkan kesempatan di hari kedua, sebelum forum JAMMMPIRO, menyampaikan sharing pengalaman Bank Mandiri dalam menggunakan data riset pasar, termasuk strateginya dalam memilih media untuk beriklan. Riset pasar sangat penting utamanya untuk memetakan dan mengetahui keinginan nasabah atau calon nasabahnya. Terkait media buying, Mandiri sendiri menggunakan agency, namun sesungguhnya dengan banyaknya channel yang tersedia, kesempatan menyapa konsumen makin intens.

“Kami melihat media sosial sekarang sudah banyak yang menjadi marketer. Sebab konsumen melihat iklan dianggap membual, sedangkan blogger yang lebih personal dari pengalaman pribadi lebih punya trust. Meda juga begitu trust-nya seperti apa. Sudahkah wartawannya didorong menjadi blogger-blogger,” kata Rohan.

Terkait trust media, mantan Pemred Pikiran Rakyat, Budiana menimpali bahwa trust media cetak lebih tinggi dibanding media sosial. Selama ini media sosial dianggap memiliki masalah dalam soal trust, banyak akun palsu dan konten yang di-publish tidak melalui seleksi editorial yang ketat. “Kami di SPS sedang campaign agar orang kembali ke print (media cetak). Kami berharap pemasang iklan mendukung bahwa informasi yang terverifikasi itu ada di media resmi,” kata Wakil Sekjen SPS Pusat itu. *** (nif)